LELUCON DALAM NEGERI




Bumi pertiwi merupakan sebutan untuk Negara Indonesia. Indonesia yang mempunyai berbagai keanekaragaman budaya, adat, bahasa, dan makanan khas. Menjadikan corak tersendiri untuk Negara yang mempunyai lebih dari 262 juta penduduk saat ini. Namun dengan berbagai keanekaragaman yang ada, Indonesia tetap satu seperti semboyan Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Berbeda-beda tapi tetap satu adalah arti dari Bhinneka Tunggal Ika. Memiliki keanekaragaman dan kekayaan alam yang melimpah, membuat fenomena-fenomena di dalamnya pun beragam dan melimpah. Ada apa dengan Indonesia?
Di Indonesia sudah sangat sering terdengar kata korupsi. Seakan-akan korupsi menjadi bagian dari budaya di Indonesia. Hal ini menjadi cibiran tersendiri bagi masyarakat-masyarakat Indonesia. Menurut organisasi yang berkantor di Berlin, Jerman, yaitu Transparency International yang setiap tahunnya mengeluarkan laporan indeks persepsi korupsi atau Corruption Perceptions Index menyatakan bahwa ditahun 2016 indonesia mengalami peningkatan, yang saat itu kekuasaan Negara sudah ada di tangan presiden Jokowi. Perolehan tersebut menjadi satu catatan positif pada tahun 2016 atas tindakan terjadinya korupsi. Namun semuanya berbalik, saat Transparency International kembali mengeluarkan indeks persepsi korupsi atau Corruption Perceptions Index pada tahun 2017, yang menunjukkan tingkat korupsi di 176 negara. Menempatkan Indonesia di peringkat 90 dengan skor 37. Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi rating terjadi penurunan dua tingkat. Dengan upaya pencegahan terjadinya korupsi yang sudah dilakukan dari masa ke masa. Seperti adanya kasus korupsi yang langsung ditangani oleh lembaga KPK, diadakannya penyuluhan antikorupsi, perbaikan di sektor ijin usaha, menekan praktek pungli, dll. Hal semacam ini pun belum bisa memberikan dampak signifikan terhadap terjadinya korupsi. Bahkan sedari dulu, lembaga pendidikan di Indonesia pun tergerak untuk memberikan asumsi pelajaran kepada setiap sekolah  dan institusi terhadap penanggulangan terjadinya korupsi. Sudah ada pembelajaran, didikan, penyuluhan. Namun disini, kurangnya peneladanan terhadap substansi yang telah diberikan kepada peserta didik.
Menyedihkan dan miris memang mendengarnya. Tetapi  ini seakan menjadi fenomena yang sudah menjadi makanan sehari-hari  bagi rakyat Indonesia. 
Tidak hanya korupsi. Penegakkan hukum di Indonesia pun menjadi sorotan masyarakat. Selain Negara kepulauan, Indonesia adalah Negara hukum. Jika tidak ada hukum, pemerintah akan kesulitan untuk mengatur wilayah Indonesia yang luas ini. Dalam urusan hukum, Indonesia telah mencakupi lembaga peradilan hukum. Seperti MA (Mahkah Agung), MK (Mahkamah konstitusi), Pengadilan Tinggi, dll. Secara hukum, semua orang memiliki strata yang sama. Entah dia bekerja sebagai buruh, tukang cuci baju, tukang becak, sekalipun ia adalah pejabat tinggi Negara. Tidak boleh terjadi diskriminasi strata sosial di mata hukum kepada setiap warga Negara.  Saat ini di Indonesia banyak sekali ketidak adilan vonis hukuman. Beberapa kasus dibawah ini akan membuktikan ketidakadilan tersebut.
AAL remaja berusia 15 tahun tak pernah menyangka jika sepasang sandal jepit butut berwarna putih kusam yang ditemukannya di pinggir jalan, kota Palu, akan menyeretnya ke meja hijau. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Lalu bagaimana dengan para koruptor yang telah mencuri uang milyaran rupiah bahkan triliyunan? Sebut saja beberapa pelaku korupsi dengan terdakwa Budi Mulya dalam kasus korupsi pemberian FPJP Bank Century yang telah merugikan Negara Rp. 7 triliun dengan hanya vonis 10 tahun penjara. Setelah melihat dua kasus tersebut, maka akan timbul pertanyaan “sudahkah indonesia menetapkan hukum?” jawabannya adalah sudah, tetapi belum adanya keselarasan dalam keadilan.
Dalam dunia pendidikan pun seperti itu. Membuat masyarakat kebingungan. Mengapa? Penulis amati bahwa, setiap pergantian menteri pendidikan yang terjadi di Indonesia, kerap kali memunculkan kebijakan-kebijakan baru. Hal ini yang membuat beberapa lembaga pendidikan atau instansi selalu mengalami perubahan, karena penetapan kebijakan yang berbeda dari kementrian pendidikan. Ganti menteri ganti kebijakan. Terutama dalam pergantian kurikulum. Kurikulum 2006 yang telah ditetapkan diganti dengan kurikulum 2013. Kemudian seiring dengan pergantian menteri pendidikan penetapan tersebut kembali di ubah. Kurikulum 2013 kembali diubah menjadi kurikulum 2006. Keadaan seperti ini yang kerap kali membuat kebingungan peserta didik maupun tenaga pengajar.













Komentar